Oleh : ATOK RAHMAD WINDARTO, S.H., M.H.
Pengacara Top 4.0 Surabaya
Pengacara Perjanjian, Pengacara Waris, Pengacara Perceraian, Pengacara Perbankan, Pengacara Kepailitan, Pengacara HAKI, Pengacara Pertanahan, Pengacara Anak, Pengacara Hukum Investasi dan Pengacara Ekonomi Syariah. HP. 081252220061
1. Pendahuluan
Dalam mengajukan permohonan kredit pada umumnya bank telah menentukan syarat dan ketentuan bagi debitur yang ingin mengajukan permohonan kredit. Pada kenyataannya, permohonan kredit yang di ajukan oleh calon debitur tidak selalu di sertai dengan dokumen-dokumen yang benar. hal ini kerap dilakukan oleh calon debitur dengan tujuan agar permohonan kredit dapat terealisasi sesuai dengan plafon yang diinginkan. Dengan iktikad buruk, calon debitur memberikan dokumen-dokumen persyaratan permohonan kredit berdasarkan hal-hal yang tidak benar, palsu atau dimanipulasi. Tentu, hal ini sangat merugikan bagi pihak Kreditur/Bank.
Contoh kasus terjadi sekitar tahun 2017 yang lalu, dunia perbankan digegerkan pembobolan pada sejumlah bank dengan modus pengajuan kredit. Pelaku pembobolan bank melalui kredit dengan modus pinjaman modal kerja, diduga dilakukan oleh dua orang. Jumlah kerugian yang dialami oleh tujuh Bank senilai total Rp 836 miliar. Kerugian senilai Rp 398 miliar dialami oleh Bank milik Negara dan Rp 438 miliar milik Bank swasta. Pelaku diduga mengajukan kredit dengan dokumen tidak benar.
Kejadian seperti dikemukakan di atas, sebenarnya kerap terjadi pada lingkungan sekitar kita. Tapi bedanya kejadian pembobolan Bank di atas mempunyai nilai fantastis. Sedangkan yang terjadi di sekitar kita dengan nilai yang lebih kecil. Sering kita temui, seseorang mengajukan kredit modal usaha, kredit pembiayaan atau keperluan konsumtif, dalam pengajuannya disertai dokumen yang tidak benar atau dimanipulasi. pada umumnya yang sering dimanipulasi oleh debitur nakal adalah memalsukan dokumen penghasilan, tempat usaha, BI ceking dan lain-lain dengan kata lain pengajuan kredit oleh debitur dengan itikad buruk dan berniat untuk wanprestasi. Hal ini dilakukan oleh debitur karena menurut pemahaman mereka bahwa utang piutang adalah hukum perdata bukan hukum pidana.
Berpangkal pada uraian di atas, penulis tertarik pada tema apakah manipulasi atau pemalsuan dokumen persyaratan kredit masuk dalam unsur delik pidana, ataukah masuk dalam ranah hukum perdata.
2. Perjanjian Kredit
Terdapat dua suku kata yang saling berhubungan, yaitu kata “perjanjian” dan “kredit”. Dalam pendekatan ontologis, untuk menarik kesimpulan terlebih dahulu diuraikan apa itu Perjanjian dan apa itu kredit . hal ini dilakukan guna mendapatkan konsep dan pengertian perjanjian kredit secara utuh dan bulat.
a. Hakikat Kredit
Dalam pendekatan secara gramatikal , kata “kredit” berasal dari bahasa Romawi “credere” yang artinya “percaya”. Pada bahasa Belanda istilahnya “vertrouwen”, dalam bahasa Inggris “believe”atau “trust” atau “confidence”, yang semuanya berarti percaya. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, terdapat beberapa arti kata kredit :
Cara menjual barang dengan pembayaran secara tidak tunai (pembayaran ditangguhkan atau diangsur);
Pinjaman uang dengan pembayaran pengembalian secara mengangsur; Penambahan saldo rekening, sisa utang, modal, dan pendataan bagi penabung; Pinjaman sampai batas jumlah tertentu yang diizinkan oleh bank atau badan lain; dan Sisi kanan neraca (di Indonesia).
Kemudian pengertian kredit menurut Pasal 1 ayat 11 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tantang Perbankan, kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat disamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain, yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Menurut E Dewi Notasari – 2020 mengutip pernyataan dari Thomas dalam Ismail (2010:93) kredit dalam pengertian umum merupakan kepercayaan atas kemampuan pihak debitur (penerima kredit) untuk membayar sejumlah uang pada masa yang akan datang. Dari beberapa pengertian kredit dapat ditarik beberapa unsur yang memungkinkan terjadinya kredit.[1]
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hakikat dari kredit adalah kepercayaan dan kesepakatan. Aspek kepercayaan ini merupakan aspek utama dan menjadikan dasar kreditur memberikan hutang terhadap debitur.
b. Perjanjian
Ditinjau dari asas hukum pacta sunt servanda bahwa semua persetujuan bersifat mengikat seperti undang-undang bagi setiap pembuatnya. Menurut Septarina Budiwati Pacta Sunt Servanda merupakan prinsip bahwa kekuatan mengikatnya suatu perjanjian seperti Undang- undang dan sesungguhnya bahwa setiap janji itu mengikat kepada setiap orang yang membuatnya juga telah ditetapkan Allah di dalam Al-Qur’an.[2]
Secara yuridis perjanjian merupakan undang-undang bagi para pihak pembuat kesepakatan, hal itu tertuang dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Pada pokoknya pasal tersebut mengatur tentang perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kecuali berdasarkan kesepakatan para pihak dan perjanjian dilaksanakan dengan itikad baik.
Pengertian perjanjian menurut para pakar hukum Prof. Agus Yudha Hernoko (2013:13,14) [3] mengutip pernyataan dari Subekti memberikan definisi perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji pada seorang lain atau di mana dua orang itu berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Beliau juga menambahkan pengertian perjanjian dengan mengutip pernyataan dari RKTM Tirtodingrat yang memberikan definisi perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat di antara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat hukum yang dapat dipaksakan oleh undang-undang.
Tentang syarat sahnya perjanjian diatur pada Pasal 1320 KUHPerdata. Terdapat dua unsur syarat sahnya perjanjian yaitu; pertama Syarat Subjektif yaitu tentang keadaan para pembuat perjanjian. Kedua adalah Syarat Objektif yaitu tentang objek yang diperjanjikan. Persyaratan itu bersifat kumulatif, apabila salah satu syarat tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum atau dapat dibatalkan. Adapun unsur-unsurnya secara rinci sebagai berikut:
- Adanya kata sepakat antara kedua belah pihak;
- Cakap berbuat hukum;
- Adanya perihal tertentu yang dijanjikan ; dan
- Kausa yang halal.
Munir Fuady (2016:190)[4] menyatakan menurut sistem hukum perdata di Indonesia, syarat kesepakatan kehendak dianggap tidak terpenuhi manakala:
- Paksaan;
- Penipuan;
- Kesilapan.
Pernyataan tersebut sesuai dengan sebagaimana dimaksud pada Pasal 1321 KUHPerdata.
Berdasarkan uraian diatas, disimpulkan bahwa Perjanjian Kredit menurut penulis adalah suatu perjanjian yang dibuat berdasarkan kepercayaan dan kesepakatan yang dituangkan dalam surat perjanjian isinya tentang hak dan kewajiban , pinjam-meminjam uang atau barang yang dinilai dengan uang, pada umumnya disebut hutang, yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
3. Delik Dalam Hukum Pidana
Berdasarkan teori pohon hukum, hukum di Indonesia terdapat dua cabang, yaitu Cabang hukum Publik dan hukum Privat. Pertama, pengertian hukum publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara warga negara dengan pemerintah. Kedua, hukum privat mengatur tentang hubungan perorangan/badan hukum dengan orang lainnya/atau badan hukum lainnya. Sedangkan hukum pidana masuk dalam kategori hukum publik.
a. Pengertian hukum Pidana
Hukum Pidana Menurut Prof. Abintoro Prakoso (2013:2) menyatakan bahwa hukum pidana (criminal law) sebagai disiplin ilmu normatif yang mempelajari kejahatan dari segi hukum, atau mempelajari aturan tentang kejahatan. Dengan kata lain mempelajari tentang tindakan yang tegas disebutkan oleh perundang-undangan sebagai kejahatan atau pelanggaran, yang dapat dikenai hukuman( pidana). [5] Hukum pidana bersendikan probabilitas atau hukum kemungkinan-kemungkinan untuk menemukan hubungan sebab akibat terjadinya kejahatan di masyarakat. Hukum pidana berusaha untuk menghubungkan perbuatan kejahatan dengan tersebut untuk meletakkan criminal law. Hukum pidana lebih banyak menyangkut segi praktik, oleh karena baru dipergunakan setelah timbulnya sesuatu perbuatan jahat, jadi lebih menekankan pada tindakan represif.[6]
Menurut Prof. Teguh Prasetyo, (2015:9) menyatakan hukum pidana adalah sekumpulan hukum yang dibuat oleh negara, isinya berupa larangan maupun keharusan sedang bagi pelanggar terhadap larangan dan keharusan tersebut dikenakan sanksi yang dapat dipaksakan oleh negara. Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik.[7] Beliau juga menambahkan tentang tujuan hukum pidana dalam rancangan KUHP Juli 2006, tujuan pemidanaan ditentukan dalam Pasal 51, yaitu Pemidanaan bertujuan untuk;
- Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;
- Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
- Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan
- Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.[8]
Bertumpu pada pendapat ahli terurai di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian hukum pidana adalah suatu hukum positif yang bersifat memaksa, berisi tentang melarang berbuat atau memerintah bagi tiap-tiap warga negara dan mendapatkan sanksi bagi siapa saja yang melanggarnya.
b. Konsep Delik dalam Hukum Pidana
Terdapat dua jenis delik dalam sistem hukum pidana di Indonesia, yaitu delik aduan dan delik biasa. Delik aduan adalah suatu perbuatan tindak pidana yang hanya dapat dituntut berdasarkan pengaduan dari pihak korban secara langsung. Kemudian delik biasa adalah adanya perbuatan tindak pidana dapat di tuntut tanpa adanya pengaduan. Kemudian apa delik itu?
Istilah “delik” menurut Mahmud Kusuma dalam hukumindo.com, yang dikutipnya dari pernyataan Prof. Bambang Poernomo menyatakan: Di dalam KUHP (WvS) dikenal dengan istilah strafbaar feit. Kepustakaan hukum pidana sering mempergunakan istilah ‘delik’, sedangkan pembuat undang-undang dalam merumuskan undang-undang mempergunakan istilah ‘peristiwa pidana’ atau ‘perbuatan pidana’, atau ‘tindak pidana’. [9]
Menurut Simon dan Moelyatno dalam buku Teguh Prastyo[10] Pengertian delik adalah;
Simon
Kelakuan yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.
Moelyatno
Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan , larangan mana disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
Perbuatan yang melanggar hukum dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang mampu bertanggung jawab dan pelakunya diancam pidana.
Unsur-unsur delik dalam Pasal-pasal KUHP[11], yaitu unsur subjektif dan unsur objektif.
Unsur Objektif:
- Suatu perbuatan
- Suatu akibat
- Suatu keadaan
- Ketiganya dilarang dan diancam pidana.
Unsur Subjektif:
- Dapat dipertanggungjawabkan
- Kesalahan (dolues atau culpa)
Bertitik tolak dari pendapat ahli dan uraian di atas, disimpulkan konsep delik dalam hukum pidana merupakan suatu perbuatan, perbuatan itu melawan hukum pidana, perbuatan itu merugikan kepentingan dan ketertiban umum, perbuatan tersebut diancam dengan sanksi pidana dalam hukum positif. Dilakukan oleh orang yang cakap hukum.
4. Konsep Perbedaan Wanprestasi dengan Penipuan
Tindak pidana penipuan mempunyai karakteristik tersendiri dibandingkan tindak pidana yang lainnya. Kejahatan penipuan pada umumnya diawali dengan hubungan perjanjian atau kontrak. Sebelum kita membahas lebih lanjut tentang pengertian dan unsur-unsur tidak pidana penipuan, kita akan memahami terlebih dahulu apa itu Wanprestasi dan apa unsur-unsurnya. Dari uraian wanprestasi tersebut, kemudian kita kategorikan apakah perjanjian kredit berdasarkan dokumen-dokumen persyaratan permohonan kredit berdasarkan hal-hal yang tidak benar, palsu atau dimanipulasi oleh debitur sebagai perbuatan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum.
a. Pengertian dan unsur-unsur wanprestasi
Arti kata Wanprestasi menurut kamus hukum adalah kelalaian, kealpaan, cedera janji, tidak menepati kewajibannya dalam perjanjian.[12] Menurut Subekti, Wanprestasi adalah apa bila si berhutang (debitur) tidak melakukan apa yang di janjikannya, maka dia dikatakan melakukan “wanprestasi”. Ia alpa atau “lalai” atau ingkar janji. Atau ia melanggar perjanjian atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya. Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa belanda yang artinya prestasi buruk.[13]
Seorang debitur atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak, yang dapat dinyatakan telah melakukan wanprestasi ada 4 (empat) macam wujudnya, yaitu:[14]
- Tidak melaksanakan prestasi sama sekali
- Melaksanakan prestasi tapi, tidak sebagaimana mestinya
- Melaksanakan prestasi tapi, tidak tepat pada waktunya
- Melakukan perbuatan yang dilarang dalam kontrak.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seseorang dapat dikatakan melakukan wanprestasi apabila orang itu tidak melakukan seperti apa yang janjikan. Dapat dikatakan sebagai perbuatan wanprestasi dengan catatan bahwa perjanjian tersebut dibuat secara sah menurut ketentuan hukum dengan iktikad baik. akan tetapi, bagai mana jika perjanjian itu dibuat berdasarkan hal yang tidak benar atau dimanipulasi (berdasarkan tipu muslihat) oleh debitur? Tentu perjanjian tersebut tidak sah karena bertentangan dengan Pasal 1320 KUHPerdata. Selanjutnya dikemudian hari, debitur tidak melakukan kewajibannya, apakah perbuatan itu termasuk perbuatan wanprestasi? Tentu tidak, perbuatan debitur yang demikian ini tidak dapat disebut sebagai perbuatan Wanprestasi tapi, perbuatan melawan hukum.
b. Perbuatan Melawan Hukum (PMH)
Istilah Perbuatan Melawan Hukum terdapat pada hukum perdata dan hukum pidana di Indonesia. Perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata dengan hukum pidana terdapat perbedaan.
Pengertian dan unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum dalam Hukum Perdata.
Perbuatan melanggar hukum dalam bahasa belanda adalah “onrechtmatige daad”. Sedangkan menurut para ahli pengertian perbuatan melanggar hukum adalah:
Menurut Warjono Prodjodikoro, mengemukakan :
“perbuatan melanggar hukum iayalah bahwa perbuatan itu mengakibatkan kegoncangan dalam neraca keseimbangan dari masyarakat. Dan kegoncangan ini tidak hanya terdapat, apabila peraturan-peraturan hukum dalam suatu masyarakat dilanggar (langsung). Melainkan juga, apabila peraturan-peraturan kesusilaan, keagamaan dan sopan santun dalam masyarakat dilanggar (langsung).”[15]
Menurut M.Khoidin, mengutip pernyataan dari Moegni Djojodiharjo, menyatakan perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan atau kealpaan yang bertentangan dengan orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku sendiri atau bertentangan dengan kesusilaan atau dengan sikap hati-hati yang harus diindahkan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda.[16]Sedangkan menurut Rosa Agustiana sebagaimana dikutip oleh Ridwan Khairandy perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang melanggar hak subjektif orang lain atau perbuatan yang bertanggungjawab dengan kewajiban menurut undang-undang atau hukum tidak tertulis yang seharusnya dijalankan oleh seorang dalam pergaulan dalam suatu masyarakat.[17]
Perbuatan melanggar hukum mempunyai unsur-unsur sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1365 KUHPerdata, maka suatu perbuatan melawan hukum haruslah mengandung unsur-unsur sebagai berikut;
- Adanya suatu perbuatan;
- Perbuatan tersebut melawan hukum;
- Adanya kesalahan dari pihak pelaku;
- Adanya kerugian bagi korban;dan
- Adanya hubungan klausula antara perbuatan dengan kerugian.[18]
Pengertian, Unsur dan Sifat Perbuatan Melawan Hukum dalam Hukum Pidana.
Salah satu sifat utama tindak pidana yang bersifat objektif adalah sifat melawan hukum. hal ini dikaitkan pada asas legalitas yang tersirat pada Pasal 1 ayat 1 KUHP. Dalam bahasa belanda melawan hukum itu adalah Wederrechtelijk. Dalam menentukan perbuatan itu dapat dipidana, pembentuk undang-undang menjadikan sifat melawan hukum sebagai unsur yang tertulis. [19] jadi perbuatan Melawan Hukum dalam hukum pidana adalah perbuatan yang dilarang dan telah ditentukan di dalam undang-undang. Artinya barang siapa yang melanggar ketentuan undang-undang akan mendapatkan sanksi pidana. Akan tetap, jika perbuatan itu tidak ditentukan atau diatur dalam undang-undang maka perbuatan itu bukan tidak pidana. Hal itu berdasarkan asas legalitas “nulla poena sine praevia lege poenali”. Sifat perbuatan melawan hukum yang demikian ini dapat dikatakan sebagai unsur Objektif.
Selain perbuatan pidana harus memenuhi unsur Objektif, perbuatan melawan hukum yang dapat dijatuhi sanksi pidana harus memenuhi unsur Subyektif. Menurut Tongat[20] Unsur-unsur tindak pidana dibagi menjadi dua bagian yaitu unsur Objektif dan unsur Subjektif. Unsur Objektif yaitu unsur yang terdapat di luar pelaku (dader) yang dapat berupa perbuatan, baik dalam arti berbuat maupun dalam arti tidak berbuat. Kemudian Unsur Subjektif yaitu unsur yang terdapat dalam diri si pelaku (dader) yaitu; hal yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatan yang telah dilakukannya. Kesalahan atau Schuld, terkait keadaan jiwa pelaku.
Dengan demikian, berdasarkan uraian di atas Perbuatan melawan hukum yang telah memenuhi unsur-unsur Objektif dan Unsur Subjektif tindak pidana disebut “delik” dalam hukum pidana.
c. Pidana Penipuan
Pidana Penipuan diatur dalam pasal 378 KUHP menyatakan:
“Barang siapa yang bermaksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, atau rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu barang kepadanya, atau supaya memberikan utang maupun menghapus piutang, diancam, karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.
Tindak pidana penipuan mempunyai unsur-unsur Objektif sebagai berikut[21]:
Menggerakkan,
- Orang lain,
- Untuk menyerahkan barang/benda
- Untuk memberi utang
- Untuk menghapus utang
- Dengan menggunakan daya upaya seperti;
- Memakai nama palsu,
- Martabat palsu,
- Dengan tipu muslihat,
- Rangkaian kebohongan.
Unsur-unsur Subjektif, terdiri dari[22]:
- Dengan maksud;
- Untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain; dan
- Secara melawan hukum.
5. Unsur Pidana (delik) dalam Perjanjian Kredit
Perbuatan melawan hukum dalam perkara tindak pidana penipuan merupakan suatu hubungan hukum yang senantiasa diawali atau didahului hubungan hukum kontraktual (characteristics of fraud has started with a contractual relationship). Suatu hubungan hukum yang diawali dengan kontraktual tidak selalu merupakan perbuatan wanprestasi, akan tetapi dapat pula merupakan suatu perbuatan tindak pidana penipuan ex Pasal 378 KUHP. Manakala suatu kontrak ditutup sebelumnya terdapat adanya tipu muslihat, keadaan palsu dan rangkaian kata bohong dari pelaku yang dapat menimbulkan kerugian pada orang lain atau korban, hal ini merupakan penipuan.[23]
Bertumpu pada pendapat pakar hukum pidana tersebut, penulis berpendapat bahwa akibat hukum perjanjian tidak selalu wanprestasi tapi, dapat juga sebagai perbuatan melanggar hukum. jika dalam penutupan perjanjian, kesepakatan perjanjian atau penandatanganan perjanjian berdasarkan Paksaan, Penipuan, Kesilapan. sebagaimana dimaksud pada Pasal 1321 KUHPerdata.
Akibat adanya unsur Penipuan dalam perjanjian tidak saja perjanjian menjadi batal demi hukum tapi, dapat pula menimbulkan perbuatan melanggar hukum atau perbuatan melawan hukum bagi pelaku. Bahkan dapat pula berakibat sanksi pidana bagi pelaku apabila dalam membuat perjanjian kredit disertai dengan dokumen-dokumen palsu atau tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya dan memenuhi unsur-unsur delik sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHP.
Referensi:
[1] E Dewi Notasari
http://eprints.umpo.ac.id/5713/2020 http://eprints.umpo.ac.id/5713/3/BAB%202%20ERLINA%20DEWI%20NOTASARI.pdf
[2] Septarina Budiwati. Prinsip Pacta Sunt Servanda Dan Daya Mengikatnya Dalam Kontrak Bisnis Perspektif. Transendens,https://publikasiilmiah.ums.ac.id/handle/11617/11265#:~:text=Pacta%20Sunt%20Servanda%20merupakan%20prinsip,dalam%20Al%2DQur’an.
[3] Agus Yudha Hernoko, “Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam kontrak komersial”, Kencana Perdana Media Group, Jakarta, Cetakan ke-3,
[4] Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, Rajawali Pers, Jakarta, Cet ke-3 2016.
[5] Prof. Abintoro Prakoso (2013:2), Kriminologi dan Hukum Pidana, Laksbang Grafika, Yogyakarta, Cet-1.
[6] Ibit
[7] Prof. Teguh Prasetyo, ”Hukum Pidana” Rajawali Pers, Jakarta, edisi revisi, cet ke-6.
[8] Ibit Hal 14-15
[9] Mahmud Kusuma, Istilah dan Pengertian Delik, https://www.hukumindo.com/2019/07/istilah-dan-pengertian-delik.html
[10] Teguh Prastyo Ibit Hal 217
[11] Ibit hal 218
[12] Setiawan Widagdo, Kamus Hukum, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2016, halaman 589.
[13] Subekti, Hukum Perjanjian, Penerbit PT Intermasa, Cet Ke-XII, hal 45.
[14] Muhammad Syaifududdin, Hukum Kontrak, memahami kontrak dalam perspektif filsafat, teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum, Mandar Maju, Bandung, Cetakan Ke-2 2016, Halaman 338.
[15] Warjono Prodjodikoro,”Perbuatan Melanggar Hukum di Pandang Dari Sudut Hukum Perdata”, Mandar Maju, cet I, 2000, hal-7
[16] M.Khoidin, “Tanggung Gugat Dalam Hukum Perdata”, LaksBangJustitia, Yogyakarta 2020, halaman 69.
[17] Ibit hal 70
[18] Munir Fuady, Op cit, hal 254.
[19] Teguh Prasetyo Ibit Halaman 67.
[20] Tongat, “Hukum Pidana Materiil” UMM Press, Malang Cet Ke-3, Hal 3-4.
[21] Ibit Halaman 62
[22] Ibit
[23] Yahman “Cara Mudah Memahami Wanprestasi & Penipuan Dalam Hubungan Kontrak Komersial”, Penamedia Group,Jakarta,2016, hal 41.