Mojokerto (transversalmedia) – Pemerintah Kota Mojokerto melalui Dinkes P2KB Kota Mojokerto terus melakukan kajian analisa dengan menerapkan grafik kasus balita stunting yang eksistensinya terbukti menurun. Dari survei terbaru tahun 2022, prevalensi balita stunted Kota Mojokerto tipis sebesar 5,95 persen.
Wali Kota Mojokerto, Ika Puspitasari mengatakan hasil Audit Kasus Stunting Kota Mojokerto, “Angkanya turun sebesar 1 persen jika dibandingkan SSGI tahun 2021 lalu sebesar 6,9 persen”, katanya. di Sabha Mandala Madya, Kantor Pemkot Mojokerto. Senin pagi (29/8/2022).
Wali Kota perempuan pertama ini menjelaskan meskipun prevalensi stunting Kota Mojokerto terendah se-Jawa Timur dan nomor dua nasional tidak menjadikan jumawa. Targetnya terus berupaya untuk mewujudkan Kota Mojokerto zero stunting.
“Kota mungil dengan jumlah penduduk yang tidak terlalu banyak harus bisa jadi barometer tata kelola pemerintahan dan pelayanan publik terbaik se Indonesia. Karena ngopeninya tidak terlalu sulit. Sehingga bukan hal yang muluk-muluk untuk mewujudkan cita-cita zero stunting”, jelasnya.
Ning Ita mengatakan tempat dan kondisi yang diuntungkan Kota Mojokerto juga diuntungkan dengan sinergitas dan kontribusi besar seluruh elemen masyarakat dengan punya komitmen dan andil besar dalam mensukseskan capaian tersebut.
“Data ePPGBM atau penimbangan yang dilakukan setiap bulan oleh Puskesmas dan dilaporkan ke Kemenkes pada Februari 2022 kemarin sudah di angka 5,95 persen, harapan kita saat survei nasional SSGI bulan September nanti, prosentasenya harus bisa dibawah itu. Sehingga progresnya jelas dan terukur”, katanya.
Ning Ita meminta leading sector Dinkes P2KB Kota Mojokerto, mampu melakukan pemetaan kondisi kasus stunting per kelurahan untuk menentukan intervensi yang tepat.
“Harus bisa mapping secara detil per kasus stunting. Penyebabnya apa dan solusinya apa. Jika karena keluarganya miskin (gakin), maka solusi di fokuskan dengan pemberian bantuan dari Pemkot melalui Dinsos P3A. Jika karena pola asuh, maka Dinkes sinergi dengan TP PKK melakukan pendampingan dan jika karena pernikahan dini maka perlu sinergi dengan Kemenag, kita hadirkan untuk intervensi kasus tersebut”, tegasnya.
Sementara itu, Kepala Dinkes P2KB Kota Mojokerto, dr Triastutik Sri Prastini mengatakan bahwa sebagian besar kasus stunting Kota Mojokerto berasal dari keluarga miskin. Itu berdasar data identifikasi yang terkumpul dari seluruh Puskesmas.
“Jika ditarik kebelakang lagi, sebanyak 24 persen dari ibu dengan balita stunting, mereka hamil dengan resiko tinggi yang menikah pada usia dini. Dan 14 hingga 19 persennya, lahir dengan berat badan rendah yang berisiko stunting”, jelasnya.
Dokter spesialis anak ini, menuturkan pencanangan zero stunting oleh Wali Kota Mojokerto, diharapkan tidak ada temuan kasus baru lagi. Sehingga butuh upaya sinergitas dari seluruh lintas sektor untuk mewujudkan tersebut.
“Agenda kali ini yang melibatkan seluruh tim audit kasus stunting kita arahkan menuju kesana. Maksud dan tujuannya untuk mengidentifikasi faktor resikonya apa dan melakukan analisa pencegahan serta perbaikannya”, pungkasnya.
(Gon)