Mojokerto (transversalmedia) – Peraturan Wali Kota (Perwali) Mojokerto Nomor 55 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Wali Kota Mojokerto Nomor 47 Tahun 2020 tentang Pedoman Tatanan Normal Baru Pada Kondisi Pandemi Corona Virus Disease 2019 Di Kota Mojokerto memunculkan polemik. 

Peraturan Daerah (Perda) dinilai lebih pas ketimbang Perwali jika ingin memasukkan sanksi di dalamnya. “Kalau menurut saya pribadi, alangkah baiknya kalau dibikin Perda,” ujar anggota DPRD Kota Mojokerto dari Fraksi PDIP, Febriana Meldyawati saat melaksanakan reses di Jalan Kranggan Tengah No. 20, Rabu (15/7/2020) sore.

Alasannya, sesuai herarki perundang-undangan, yang bisa membuat sanksi adalah Perda. “Herarki susunan perundang-undangan yang paling bawah adalah Perda. Jadi yang bisa membuat sanksi adalah Perda,” jelasnya.

Menurutnya, seharusnya kalau membuat aturan ditelaah lagi. “Sudah dua kali ini wali kota bikin aturan. SE (Surat Edaran) blunder, warga juga protes. Tidak melalui kajian dan telaah, akhirnya seperti itu. Yang sekarang Perwali juga begitu.  Tidak melalui kajian dan telaah,” sindirnya.

Mantan Ketua DPRD Kota Mojokerto periode 2014 – 2019 ini sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Ombudsman Republik Indonesia. “Ombudsman RI maturnya, kalau bisa Perda,” tandasnya. 

Selain itu,  sesuai dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, lanjutnya, pemberian sanksi diatur melalui Perda. “Kalau Perda kan jelas hak dan kewajiban masyarakat. Perwali itu aturan dan pelaksanaan Perda,” jelasnya. 

Kalau dinilai sifatnya urgent (mendesak), bisa berkomunikasi dengan provinsi. “Meskipun tidak masuk dalam Prolegda (Program Legislasi Daerah), saya kira bisa karena sifatnya mendesak. Bisa dibuatkan perubahan usulan. Bapemperda (Badan Pembentukan Peraturan Daerah) dan Bagian Hukum bisa berkomunikasi dengan provinsi,” pungkasnya.(Adv/Cup/Gon)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here