Mojokerto (transversalmedia) – Pada mengawali reses pertama, di giat Reses DPRD Kota Mojokerto ke I tahun 2021, Wakil Ketua DPRD, Junaedi Malik. Beberapa hasil aspirasi pokok pikiran (pokir) masyarakat yang tidak muncul pada tahun 2020. Yang disebabkan anggaran dari APBD kota Mojokerto di terefocusing.
Pada awalnya, ada beberapa dari undangan reses mempertanyakan pokir. Yakni, Ketua RW 1, Randegan, Zulkarnain dan Guntoro sebagai tokoh masyarakat. Ia menyampaikan aspirasinya terkait aspirasinya di beberapa tahun yang lalu yang dipastikan aspirasi tersebut belum juga tereasliasi saat ini.
Menanggapi hal itu, Wakil Ketua DPRD Kota Mojokerto, Junaedi Malik mengatakan “Ada yang hal kurang bijak adalah program pokir, itulah yang dari awal yang saya sayangkan. Kenapa kok program pokir yang di kurangi, malah program belanja rutin yang kurang bermanfaat dari masyarakat. Itulah hal yang kurang bijak yang saya sesalkan”, ujarnya. Selasa (16/3/2021).
Tokoh politisi PKB ini menjelaskan tentang definisi program pokir tersebut adalah “Apapun masukan-masukan aspirasi, harapan-harapan dari masyarakat ini kita input, kita tampung dan masuk perencanaan masukkan sistem pokir. Dalam proses berikutnya Bapeko yang masuk survei dan sebagainya”, lanjutnya.
Junaedi juga menjelaskan, dasar hukum terkait program pokir kepada masyarakat, “Pokir ini termasuk dalam UU yang sah, nomor 23 tahun 2014, kewajiban DPRD mendengarkan aspirasi dan memperjuangkan memprogramkan sampai APBD. Memberikan masukan apapun DPRD wajib mendengarkan”, paparnya.
Menurutnya, hal ini tergantung dari komitmen antara legislatif dan eksekutif. “Bicara soal komitmen, kalau kita objektif, politik anggaran yang ideal sebenarnya pembangunan merupakan usulan dari masyarakat, ketua RT, ketua RW, dan tokoh masyarakat karena mereka tahu kondisi riil di masyarakat. Jadi sudah sewajarnya jika itu menjadi komitmen pimpinan”, harapnya.
Lebih jauh dikatakan, masalah ini sudah disampaikan rapat yang dihadiri oleh wali kota, pimpinan DPRD, ketua fraksi, ketua komisi, dan ketua AKD. “Ini dilema bagi anggota dewan. Semua aspirasi kita tampung tapi kalau tidak realisasi kan kita yang repot. Padahal amanat UU 23 tahun 2014, kita wajib menampung aspirasi masyarakat, memprogramkan, memperjuangkan, dan merealisasikan”, katanya.
Yang paling ekstrim, tandasnya, wali kota ingin membatasi hanya 10 titik untuk pokir. “Ini kan membelenggu fungsi peran DPRD. Tidak ada satu pun yang membatasi DPRD menyerap aspirasi, yang ada justru mewajibkan untuk mendengarkan aspirasi masyarakat,” pungkasnya.
(Adv/Gon)